Gak tau knapa, tiba-tiba ajah aku terpikir untuk kilas balik kisah manis cinta aku dan cami. Hmm…
Kami lahir dan besar di Jakarta, tepatnya satu perumahan. Ibuku dan mamanya “rajin” ikut arisan RT. Kakakku dan dia satu sekolah dari SD sampai SMP di sebuah sekolah swasta, sementara adiknya adalah teman bermainku di Taman Kanak Kanak. Tapi semua hal itu juga tak lantas membuat kami dekat dan akrab.
Bahkan ketika aku masuk perguruan tinggi swasta yang sama dengan dirinyapun aku seperti orang yang tak saling kenal. Jika kebetulan bertemu di kampus hanya sebatas say hello.
Akhirnya dia lulus, sementara aku masih harus bergulat dengan mata kuliah. Ketika itu, aku sudah memiliki kekasih dan hubungan kami sangat serius, begitupun dia dengan kekasihnya.
Suatu ketika, aku sempat depresi dengan hubungan jarak jauh dengan cowokku karena kami jarang bertemu, tapi rasa itu selalu coba kualihkan, waktuku habis untuk urusan kuliah, organisasi, dan melihat sidang skripsi senior-seniorku. Beberapa kali aku pulang dari kampus jam 9 atau 10 malam.
Mada lulus, ternyata bukan berarti dia tidak akan ke kampus lagi. Hobinya yang maniak game online dan menjadi langganan game center dekat kampus ternyata membuat kami sering (kebetulan) bertemu dan pulang bareng.
Mulailah kami dekat sebagai sahabat, karena status kami masing-masing sudah punya kekasih. Akupun terbuka menceritakan siapa Mada pada cowokku. Tidak ada pikiran macam-macam darinya, mungkin dia juga paham aku butuh seseorang yang bisa kuajak berkeluh kesah bukan hanya sebagai sahabat, tapi juga menjadi masa depanku.
Tanpa kami sadari, kami sama-sama jatuh cinta. Keadaan membuat aku dan Mada makin dekat, dan hubungan aku dan cowokku makin terasa jauh, bukan hanya dari segi jarak tapi juga dari segi kualitas hubungan. Akhirnya, aku dan cowokku putus, cowokku yang memutuskan, karena dia merasa tidak bisa membuatku bahagia dan tertawa selama menjalani hubungan. Intinya, dia mengalah.
Putus darinya, tak serta merta membuatku langsung mengungkapkan rasa hatiku pada Mada karena dia masih punya kekasih. Tapi, keadaan ini bukan membuatku merasa bebas, tapi justru semakin depresi, aku merasa mencintai orang yang tepat di saat yang salah. Ya, mencintai Mada di saat dia sudah punya tambatan hati. Tak tahan dengan hal ini, aku bolos kuliah dan “melarikan diri” ke Yogya, mencoba menenangkan diri selama satu minggu di sana, handphone kumatikan.
Pulang dari Yogya aku menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kuat. Support dari teman-teman sangat membantuku.
But, God made everythings good in His time. Entah berita baik atau berita buruk, Mada bilang padaku dia putus dari pacarnya, karena orangtua pacarnya menghendaki anaknya kuliah di California.
Saat itu Mada juga belum tahu, aku sudah putus. Dia hanya tau aku ke Yogya karena menengok saudara.
Beberapa bulan setelah aku belajar menata hidupku kembali, Mada bilang dia ingin menjadi pacarku, tak peduli aku masih punya pacar atau tidak. Jujur, hatiku tak tahan, akhirnya aku bilang padanya bahwa aku sudah putus jauh sebelum dia putus.
Kamipun berpacaran., dan sampai saat ini aku masih yakin nantinya dia akan menjadi ayah dari anak-anakku. Dialah masa depanku. Ya... God made everythings good in His time.
Kami lahir dan besar di Jakarta, tepatnya satu perumahan. Ibuku dan mamanya “rajin” ikut arisan RT. Kakakku dan dia satu sekolah dari SD sampai SMP di sebuah sekolah swasta, sementara adiknya adalah teman bermainku di Taman Kanak Kanak. Tapi semua hal itu juga tak lantas membuat kami dekat dan akrab.
Bahkan ketika aku masuk perguruan tinggi swasta yang sama dengan dirinyapun aku seperti orang yang tak saling kenal. Jika kebetulan bertemu di kampus hanya sebatas say hello.
Akhirnya dia lulus, sementara aku masih harus bergulat dengan mata kuliah. Ketika itu, aku sudah memiliki kekasih dan hubungan kami sangat serius, begitupun dia dengan kekasihnya.
Suatu ketika, aku sempat depresi dengan hubungan jarak jauh dengan cowokku karena kami jarang bertemu, tapi rasa itu selalu coba kualihkan, waktuku habis untuk urusan kuliah, organisasi, dan melihat sidang skripsi senior-seniorku. Beberapa kali aku pulang dari kampus jam 9 atau 10 malam.
Mada lulus, ternyata bukan berarti dia tidak akan ke kampus lagi. Hobinya yang maniak game online dan menjadi langganan game center dekat kampus ternyata membuat kami sering (kebetulan) bertemu dan pulang bareng.
Mulailah kami dekat sebagai sahabat, karena status kami masing-masing sudah punya kekasih. Akupun terbuka menceritakan siapa Mada pada cowokku. Tidak ada pikiran macam-macam darinya, mungkin dia juga paham aku butuh seseorang yang bisa kuajak berkeluh kesah bukan hanya sebagai sahabat, tapi juga menjadi masa depanku.
Tanpa kami sadari, kami sama-sama jatuh cinta. Keadaan membuat aku dan Mada makin dekat, dan hubungan aku dan cowokku makin terasa jauh, bukan hanya dari segi jarak tapi juga dari segi kualitas hubungan. Akhirnya, aku dan cowokku putus, cowokku yang memutuskan, karena dia merasa tidak bisa membuatku bahagia dan tertawa selama menjalani hubungan. Intinya, dia mengalah.
Putus darinya, tak serta merta membuatku langsung mengungkapkan rasa hatiku pada Mada karena dia masih punya kekasih. Tapi, keadaan ini bukan membuatku merasa bebas, tapi justru semakin depresi, aku merasa mencintai orang yang tepat di saat yang salah. Ya, mencintai Mada di saat dia sudah punya tambatan hati. Tak tahan dengan hal ini, aku bolos kuliah dan “melarikan diri” ke Yogya, mencoba menenangkan diri selama satu minggu di sana, handphone kumatikan.
Pulang dari Yogya aku menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kuat. Support dari teman-teman sangat membantuku.
But, God made everythings good in His time. Entah berita baik atau berita buruk, Mada bilang padaku dia putus dari pacarnya, karena orangtua pacarnya menghendaki anaknya kuliah di California.
Saat itu Mada juga belum tahu, aku sudah putus. Dia hanya tau aku ke Yogya karena menengok saudara.
Beberapa bulan setelah aku belajar menata hidupku kembali, Mada bilang dia ingin menjadi pacarku, tak peduli aku masih punya pacar atau tidak. Jujur, hatiku tak tahan, akhirnya aku bilang padanya bahwa aku sudah putus jauh sebelum dia putus.
Kamipun berpacaran., dan sampai saat ini aku masih yakin nantinya dia akan menjadi ayah dari anak-anakku. Dialah masa depanku. Ya... God made everythings good in His time.
Ada kutipan dari sebuah buku membuat diriku lebih cerah menatap masa depan :
Aku tidak merasa cantik, karena itu aku tidak berfikir harus mencari yang tampan. Aku tidak mempersoalkan harta yang cukup, karena aku sadar bahwa hartakupun tiada. Aku tidak menuntut dia harus baik, karena aku sadar aku juga tidak cukup baik. Aku tidak meminta dia harus mengerti aku, karena belum tentu juga aku bisa sepenuhnya mengerti dirinya. Aku tidak minta dia harus pintar, karena akupun belum tentu sepintar apa yang dia inginkan. Akhirnya aku hanya meminta sedikit: “Ya Tuhan, berikan pada kami hati yang terbuka, yang mau menerima satu sama lain apa adanya, jadilah kehendakMu! (Tapi aku percaya Tuhan tetap mempertimbangkan kebutuhan kami).”
Dan aku akan terus menjalani hari-hari ini dengan suka cita, menerobos berbagai rintangan di depan sana. Dengan pengalaman kegagalan sebelumnya, berharap aku bisa membuat keputusan yang lebih baik, yang sungguh-sungguh bersasar kepada dalil: “Ketika Tuhan yang menjadi alasan paling utama untuk menikah”. Karena ketika Tuhan yang menjadi alasan paling utama untuk menikah, isak tangis akan berubah menjadi damai yang membahagiakan. Dan aku akan bersabar menanti saatnya tiba.....